Anakku di tangan Tuhan |
Banyak orang bertanya kepada saya, “Kok belum punya anak?”, awalnya saya bingung harus jawab apa. Kemudian mereka dengan bergaya bijaksana menasehati saya “Kekayaan yang utama itu anak! Buat apa banyak uang tapi tidak punya anak?” ya ampunn… ada juga yang bilang “Nanti bila kamu tua, yang ditanya itu bukan berapa mobilmu, tapi berapa anakmu!” apalagi ada teman yang berteori tentang keburukan kehidupan bila tidak adanya anak, memangnya anak bisa di beli di supermarket ya?. Ada juga sahabat baik saya menasehati “sabar, kamu belum dikasi kepercayaan sama Tuhan!” kok kesannya saya ini orang yang tidak bisa dipercaya ya.. ternyata gelapnya hati ini membuat saya menolak nasehat baik.
Pada awalnya saya dan istri merasa beban dengan pertanyaan-pertanyaan seperti ini, kami seperti merasa dituduh belum adanya anak dalam keluarga kami adalah keinginan kami. Apalagi setelah kejadian operasi kuret (pengguguran kandungan) yang dialami istri yang membuatnya sangat bersedih. Aneh ya, pasangan yang ingin punya bayi malah menggugurkan kandungan? Kejadian ini sudah setahun berlalu, pada awal kehamilan kami benar-benar gembira, karena kehamilan yang kami tunggu-tunggu akhirnya datang juga. Meskipun dibarengi dengan sakitnya perut istri yang membuatnya terpaksa bedrest tidak bisa beraktifitas hampir sebulan lamanya. Setelah memasuki kehamilan bulan ke-4 kami mendapat berita mengejutkan dari dokter kandungan, kalau ternyata ada kelainan pada janin yang dinyatakan tidak bertumbuh dan harus dilakukan proses pengguguran karena bila dibiarkan bisa mengancam kesehatan istri saya. Sebuah keputusan yang sangat sulit bagi saya, di satu sisi saya sangat menginginkan bayi, disisi lain janin itu harus digugurkan. Apalagi dari pihak keluarga yang memiliki keyakinan berbeda dan tidak percaya keputusan dokter karena melihat kondisi istri saya yang kelihatan baik-baik saja. Tapi saya lebih percaya dokter daripada mereka.
Saya bisa merasakan betapa pedihnya kenyataan ini bagi istri saya, saya menyaksikan betapa istri saya sangat terpukul dan menangis berhari-hari karena kejadian ini. Matanya yang bengkak karena terlalu lama menangis membuat saya berpikir, harus ada seseorang yang kuat yang bisa menjaganya. Saya tidak boleh ikut larut dalam kesedihan ini. Memang sebuah kenyataan yang membuat hati saya juga menangis, tapi saya merasa bertanggung jawab atas derita ini, itu sebabnya saya berusaha tampil tegar di depan istri dan keluarga. Sesakit-sakitnya dalam hati saya, diluar saya harus bisa tersenyum, minimal senyum saya bisa membahagiakan istri dan orang yang melihat saya. Bagi saya pribadi kejadian ini sangat luar biasa, saya merasa disinilah titik balik hidup saya. Dari seorang pribadi yang merasa diri sempurna, akhirnya harus belajar melihat ke dalam. Semenjak saat itu saya mulai tertarik mempelajari kehidupan ini, apa yang sesungguhnya saya cari dalam hidup ini, kebahagiaankah?
Awalnya saya sempat berpikir Tuhan itu tidak adil, saya merasa sudah berbuat baik dalam hidup ini, tapi kenapa orang tidak baik dikarunia anak. Saya juga mengira akan bahagia bila sudah punya anak nanti. Beruntung saya bertemu seorang guru yang mengingatkan saya kalau saya sedang salah, ternyata saya sedang mensyaratkan kebahagiaan saya. Saya mensyaratkan punya anak dulu baru bahagia. Berarti kebahagiaan itu ada diluar diri saya, padahal kebahagian sesungguhnya ada di dalam hati saya. Ternyata kebahagiaan itu ada disini, saat ini dan dengan cara membahagiakan orang lain (inspirasi judul blog ini “a friend for your happiness”). Kemudian saya mulai belajar mensyukuri apapun yang terjadi dalam hidup ini, bersyukur masih punya kaki sementara banyak orang tidak bisa berjalan, bersyukur saya bisa bernapas dengan bebas padahal ada orang di ICU yang sulit bernapas, bersyukur saya punya mata yang bisa melihat padahal ada orang yang rela bayar milyaran rupiah untuk hanya bisa melihat. Keraguan saya akan ketidak adilan Tuhan mulai terjawab. Saya mulai bisa melihat hal-hal kecil yang disyukuri ternyata bisa membuat saya bahagia. Ternyata benar yang dikatakan guru saya bahwa “bukan kebahagiaan yang membuat kita bersyukur, tapi kemampuan untuk mensyukurilah yang membuat kita bahagia.”
a friend for your happiness |
Ada juga sahabat yang mengingatkan saya untuk tidak meragukan sifat-sifat Tuhan. Memangnya saya ragu? Ternyata iya. Sebelumnya saya meragukan sifat “maha penyayang” Beliau, padahal tidak ada niatNya selain memuliakan saya. Ini memang bukan sesuatu yang bisa di teorikan, karena hanya yang betul-betul mengalami bisa merasakan. Mungkin ada dalam kejadian ini Beliau ingin biar saya dan istri menjadi lebih pengasih, lebih penyayang bukannya malah menyesali kekurangan. Bila kejadian ini tidak terjadi, mungkin saya akan tumbuh menjadi pribadi yang tidak seperti sekarang. Thanks God…
Tuhan, ini berat buat saya, tapi saya akan tetap coba.. kalau nanti saya harus gagal, saya gagal di jalanMu. |