Pada sebuah acara tanya jawab oleh Gubernur Bali di sebuah
televisi lokal, seorang mengusulkan kepada Gubernur untuk menghapuskan
transmigrasi bagi penduduk Bali, alasannya karena penduduk asli Bali disuruh
pergi namun sekarang Bali dipenuhi penduduk pendatang. Awalnya saya setuju dengan
pendapat ini, namun setelah Bapak Gubernur menjawab pikiran saya mulai terbuka.
Bagi penduduk asli Bali yang hanya
memiliki keahlian bertani, maka transmigrasi adalah solusi, karena lahan di Bali
sudah tidak mendukung untuk pertanian yg luas. Trus datang pertanyaan lagi
kenapa mereka yang merantau menjadi sukses, dan penduduk asli Bali
yang tinggal di Bali terkesan malas dan kalah bersaing
dengan para pendatang? Seperti sebuah pernyataan lucu yang beredar di
lingkungan saya “Orang Bali jual tanah untuk beli bakso, namun pendatang jual
bakso untuk beli tanah di Bali”
|
Traktor untuk alat transportasi di Sulteng |
Sebagai orang asli bali saya merasa sakit hati melihat
kenyataan ini, semakin besar keinginan saya meliat kondisi paman yang merantau
di Sulawesi Tengah, dan bersyukur sekali sama Tuhan pada tanggal 17 – 25 Desember
2011 saya dan istri diijinkan untuk liburan pacaran ke Sulawesi Tengah menginap
dirumah Paman yang sudah transmigrasi dari tahun 70an.
Banyak kendala sebelum kami berangkat, salah satunya
pekerjaan istri yang tidak boleh libur seenaknya, berbeda dengan saya yang
banyak waktu karena berprofesi sebagai pengangguran.. hehehe.. Namun sangat
beruntung istri diijinkan untuk cuti oleh atasannya yang baik.
Masalah keduapun datang, uangnya darimana? Sebagai seorang
pengangguran yang sudah tidak bekerja dari bulan Juli 2011 saya akui ini
kondisi yang tidak mudah, keputusan idiot saya meninggalkan jabatan dan
pekerjaan tetap saya di FIF itu sekarang mulai diuji dengan kurangnya uang
seperti sekarang ini, tapi Tuhan menunjukkan kasih sayangnya secara nyata,
tidak tau bagaimana kakak saya tercinta Tude Wirawan memberikan saya uang saku
yang lumayan besar, sangat cukup untuk biaya pesawat Denpasar-Palu berdua
bersama istri. Terimakasih kakak, semoga suatu saat nanti saya bisa membalas
kebaikanmu ini.
|
di Bandara Ngurah Rai Bali. |
Hari pertama samapai di Palu yang sebelumnya transit dulu di
bandara Ujung Pandang, saya sudah dikejutkan dengan masih jauhnya lokasi tempat
tinggal paman dari bandara, masih diperlukan perjalan 5 jam melewati hutan dan
jalanan yang berliku naik turun bukit. Sampai di lokasi di RK Padang Sari, Kecamatan
Balinggi Jati, kabupaten Parigi Mountong, kami terkejut lagi dengan sambutan
saudara-saudara kami yang sudah puluhan tahun tidak pernah ketemu, suasana
persaudaraan yang gembira dan penuh kesederhanaan menghiasi suasana itu.
Hari-hari berikutnya kami diantarkan paman mengunjungin
saudara lain dari Bali yang juga transmigrasi disana,
sangat terasa kesederhanaan dan keramahan mereka. Saya mulai mendengar cerita
bagaimana perjuangan mereka ketika baru sampai di lokasi yang belum ada lahan
pertanian, hanya hutan belantara yang memaksa mereka untuk bekerja keras
mempertahankan hidup karena tidak punya pilihan lain. Hmm…mungkin kondisi ini
yang membedakan mereka yang merantau dengan yang tetap tinggal di Bali.
Mungkin mereka yang tidak merantau termasuk saya merasa aman dirumah karena
masih melihat ada tanah yang bisa di jual kalau kepepet, atau masih melihat
banyak saudara yang akan membantu bila saya mendapat musibah. Sangat berbeda
dengan kondisi mereka yang merantau, mereka sama sekali tidak ada pilihan lain
selain bekerja keras untuk mempertahankan hidup, mungkin ini yang membuat
mereka menjadi kuat dan sukses. Yang berita kesuksesan mereka yang merantau terdengar
sampai ke Bali, yang pada tahun 90an membuat saya bangga punya paman di
Sulawesi, masih ingat juga dahulu keluarga saya sering dikirimi uang dari paman
yang merantau Sulawesi.
|
Bersama paman dan cucu-cucunya di Sulawesi Tengah |
Bila dibandingkan dengan kondisi Bali
sekarang, yang katanya penduduk Bali terdesak oleh
datangnya penduduk pendatang, begitu pula halnya dengan di Sulawesi
ini. Paman menceritakan bagaimana penduduk asli Sulawesi
terkesan tersingkir oleh datangnya orang Bali. Memang
terkesan seperti penjajahan namun itulah yang terjadi, orang Bali
datang dengan keahlian bertani dan bekerja keras. Sama sekali orang Bali
tidak merasa menjajah, namun penduduk asli menjual tanah mereka demi uang orang
Bali. Baru saya sadari kejadian serupa juga terjadi di
Bali, banyak teman-teman di Bali merasa terjajah dengan datangnya pendatang,
orang Bali menjual tanah mereka karena mengiginkan uang dari pendatang,
kemudian mereka menyebut pendatang adalah penjajah. Padahal orang Bali
dan saya sendirilah yang tidak mampu bersaing dengan pendatang. Masih mau
menyalahkan pendatang? Atau bagaimana
kalo kita belajar dan berusaha lebih keras supaya tidak tersingkir?
|
Suasana makan yang sederhana tapi nikmat. |
Namun seiring berjalannya waktu, para transmigran ini juga
mengalami kendala, seperti keadaan paman saya sekarang yang ada sedikit masalah
rumah tangga dengan anaknya yang mungkin salah satu pemicunya masalah ekonomi
yang tidak sebagus dahulu waktu anak-anaknya masih kecil, yang membuat
anak-anak mereka lemah karena dari kecil kebutuhan mereka terpenuhi tanpa harus
bekerja keras seperti orang tuanya. Memang hasil pertanian dan perkebunan mereka
yang awalnya bagus sekarang mulai terserang banyak penyakit, biaya obat-obatan
dan pupuk meningkat sementara hasil pertanian dan kebun menurun yang membuat
para petani merugi.
Namun terlepas dari masalah rumah tangga paman, saya dan
istri mendapat banyak pengalaman berharga disini, kami jadi mendapat pelajaran
yang tidak diajarkan di sekolah. Pengalaman mereka yang membuat kami lebih
berhati-hati menjalani kehidupan, sehingga kesalahan yang telah dialami mereka
tidak terulang pada kami. Selain itu kami jadi tahu ternyata di lokasi
transmigrasi ini juga banyak terdapat tempat wisata yang tidak kalah indahnya
dengan di Bali. Suasana pantai yang masih asri dan
sedikit orang, sangat berbeda dengan pantai di bali yang dipenuhi orang.
|
Pantai Torue yang sepi pengunjung. |
Tanpa terasa seminggu sudah kami lewati liburan ini di Sulawesi,
saat ingin balik ke Bali terkendala lagi masalah harga tiket yang meroket, dari
harga 900ribuan menjadi 2jutaan per tiket, ini mungkin pengaruh hari raya natal
dan tahun baru. Sempat terpikir lewat jalur laut supaya lebih hemat yg saat itu
hanya 600ribuan namun memakan waktu 3hari untuk sampai Denpasar, sementara
istri harus sudah bekerja, sehingga kami putuskan berapapun harga tiket tetap
harus kami beli.
Singkat cerita bertepatan dengan hari natal tgl 25 Desember
2011 kami mendarat di Bandara Ngurah Rai pada pukul 18:00 yang saat itu bandara dalam keadaan sembrawut karena
dalam proses renovasi. Dan terimakasih buat Pak Nyoman Uthamayasa paman dari
istri yang telah meluangkan waktu menjemput sehingga kami bisa menghemat biaya
taxi. Hehee..
|
Masakan khas Sulawesi, ikan bakar sambal dabu-dabu |
|
Bendungan Sausu yang baru diperbaiki |
|
Kampung nelayan Pantai Tumpapa |
|
Disekian banyak wanita, istriku yang paling cantik... @RK Padang Sari, Sulteng |
|
hasil kebun Biji Kakao (coklat) yang baru di jemur |
|
Terimakasih telah bersedia menua bersamaku darl, I Love You. @ Pantai Tumpapa, Sulteng |
2 komentar:
wowow... kereennn bang.....
kira2 di Bali ada gak gunung setengah bulat... seperti di belakang anda pada saat anda b.phose di pantai Torue..?? oia...pantai Torue i2 ndak s,sepi yang anda bayangkhan pada saat hari raya lhoo....
terimakasih dah berkunjung ke Pantai Torue.. aku orang Bali Lhoo yang tinggal di Torue.....
Salamkenal Bang IDA BAGUS MADE BP :) terimakasih tlah berkunjung ke blog ini ya.. tentu saja di Bali tidak ada gunung seindah itu,saya jadi ingin ke Torue lagi.
Posting Komentar