Rabu, 28 Desember 2011

Transmigrasi ke Sulawesi


Pada sebuah acara tanya jawab oleh Gubernur Bali di sebuah televisi lokal, seorang mengusulkan kepada Gubernur untuk menghapuskan transmigrasi bagi penduduk Bali, alasannya karena penduduk asli Bali disuruh pergi namun sekarang Bali dipenuhi penduduk pendatang. Awalnya saya setuju dengan pendapat ini, namun setelah Bapak Gubernur menjawab pikiran saya mulai terbuka.
Bagi penduduk asli Bali yang hanya memiliki keahlian bertani, maka transmigrasi adalah solusi, karena lahan di Bali sudah tidak mendukung untuk pertanian yg luas. Trus datang pertanyaan lagi kenapa mereka yang merantau menjadi sukses, dan penduduk asli Bali yang tinggal di Bali terkesan malas dan kalah bersaing dengan para pendatang? Seperti sebuah pernyataan lucu yang beredar di lingkungan saya “Orang Bali jual tanah untuk beli bakso, namun pendatang jual bakso untuk beli tanah di Bali”


Traktor untuk alat transportasi di Sulteng
Sebagai orang asli bali saya merasa sakit hati melihat kenyataan ini, semakin besar keinginan saya meliat kondisi paman yang merantau di Sulawesi Tengah, dan bersyukur sekali sama Tuhan pada tanggal 17 – 25 Desember 2011 saya dan istri diijinkan untuk liburan pacaran ke Sulawesi Tengah menginap dirumah Paman yang sudah transmigrasi dari tahun 70an.
Banyak kendala sebelum kami berangkat, salah satunya pekerjaan istri yang tidak boleh libur seenaknya, berbeda dengan saya yang banyak waktu karena berprofesi sebagai pengangguran.. hehehe.. Namun sangat beruntung istri diijinkan untuk cuti oleh atasannya yang baik.
Masalah keduapun datang, uangnya darimana? Sebagai seorang pengangguran yang sudah tidak bekerja dari bulan Juli 2011 saya akui ini kondisi yang tidak mudah, keputusan idiot saya meninggalkan jabatan dan pekerjaan tetap saya di FIF itu sekarang mulai diuji dengan kurangnya uang seperti sekarang ini, tapi Tuhan menunjukkan kasih sayangnya secara nyata, tidak tau bagaimana kakak saya tercinta Tude Wirawan memberikan saya uang saku yang lumayan besar, sangat cukup untuk biaya pesawat Denpasar-Palu berdua bersama istri. Terimakasih kakak, semoga suatu saat nanti saya bisa membalas kebaikanmu ini.
di Bandara Ngurah Rai Bali.
Hari pertama samapai di Palu yang sebelumnya transit dulu di bandara Ujung Pandang, saya sudah dikejutkan dengan masih jauhnya lokasi tempat tinggal paman dari bandara, masih diperlukan perjalan 5 jam melewati hutan dan jalanan yang berliku naik turun bukit. Sampai di lokasi di RK Padang Sari, Kecamatan Balinggi Jati, kabupaten Parigi Mountong, kami terkejut lagi dengan sambutan saudara-saudara kami yang sudah puluhan tahun tidak pernah ketemu, suasana persaudaraan yang gembira dan penuh kesederhanaan menghiasi suasana itu.
Hari-hari berikutnya kami diantarkan paman mengunjungin saudara lain dari Bali yang juga transmigrasi disana, sangat terasa kesederhanaan dan keramahan mereka. Saya mulai mendengar cerita bagaimana perjuangan mereka ketika baru sampai di lokasi yang belum ada lahan pertanian, hanya hutan belantara yang memaksa mereka untuk bekerja keras mempertahankan hidup karena tidak punya pilihan lain. Hmm…mungkin kondisi ini yang membedakan mereka yang merantau dengan yang tetap tinggal di Bali. Mungkin mereka yang tidak merantau termasuk saya merasa aman dirumah karena masih melihat ada tanah yang bisa di jual kalau kepepet, atau masih melihat banyak saudara yang akan membantu bila saya mendapat musibah. Sangat berbeda dengan kondisi mereka yang merantau, mereka sama sekali tidak ada pilihan lain selain bekerja keras untuk mempertahankan hidup, mungkin ini yang membuat mereka menjadi kuat dan sukses. Yang berita kesuksesan mereka yang merantau terdengar sampai ke Bali, yang pada tahun 90an membuat saya bangga punya paman di Sulawesi, masih ingat juga dahulu keluarga saya sering dikirimi uang dari paman yang merantau Sulawesi.

Bersama paman dan cucu-cucunya di Sulawesi Tengah

Bila dibandingkan dengan kondisi Bali sekarang, yang katanya penduduk Bali terdesak oleh datangnya penduduk pendatang, begitu pula halnya dengan di Sulawesi ini. Paman menceritakan bagaimana penduduk asli Sulawesi terkesan tersingkir oleh datangnya orang Bali. Memang terkesan seperti penjajahan namun itulah yang terjadi, orang Bali datang dengan keahlian bertani dan bekerja keras. Sama sekali orang Bali tidak merasa menjajah, namun penduduk asli menjual tanah mereka demi uang orang Bali. Baru saya sadari kejadian serupa juga terjadi di Bali, banyak teman-teman di Bali merasa terjajah dengan datangnya pendatang, orang Bali menjual tanah mereka karena mengiginkan uang dari pendatang, kemudian mereka menyebut pendatang adalah penjajah. Padahal orang Bali dan saya sendirilah yang tidak mampu bersaing dengan pendatang. Masih mau menyalahkan  pendatang? Atau bagaimana kalo kita belajar dan berusaha lebih keras supaya tidak tersingkir?


Suasana makan yang sederhana tapi nikmat.
Namun seiring berjalannya waktu, para transmigran ini juga mengalami kendala, seperti keadaan paman saya sekarang yang ada sedikit masalah rumah tangga dengan anaknya yang mungkin salah satu pemicunya masalah ekonomi yang tidak sebagus dahulu waktu anak-anaknya masih kecil, yang membuat anak-anak mereka lemah karena dari kecil kebutuhan mereka terpenuhi tanpa harus bekerja keras seperti orang tuanya. Memang hasil pertanian dan perkebunan mereka yang awalnya bagus sekarang mulai terserang banyak penyakit, biaya obat-obatan dan pupuk meningkat sementara hasil pertanian dan kebun menurun yang membuat para petani merugi.

Namun terlepas dari masalah rumah tangga paman, saya dan istri mendapat banyak pengalaman berharga disini, kami jadi mendapat pelajaran yang tidak diajarkan di sekolah. Pengalaman mereka yang membuat kami lebih berhati-hati menjalani kehidupan, sehingga kesalahan yang telah dialami mereka tidak terulang pada kami. Selain itu kami jadi tahu ternyata di lokasi transmigrasi ini juga banyak terdapat tempat wisata yang tidak kalah indahnya dengan di Bali. Suasana pantai yang masih asri dan sedikit orang, sangat berbeda dengan pantai di bali yang dipenuhi orang.
Pantai Torue yang sepi pengunjung.
Tanpa terasa seminggu sudah kami lewati liburan ini di Sulawesi, saat ingin balik ke Bali terkendala lagi masalah harga tiket yang meroket, dari harga 900ribuan menjadi 2jutaan per tiket, ini mungkin pengaruh hari raya natal dan tahun baru. Sempat terpikir lewat jalur laut supaya lebih hemat yg saat itu hanya 600ribuan namun memakan waktu 3hari untuk sampai Denpasar, sementara istri harus sudah bekerja, sehingga kami putuskan berapapun harga tiket tetap harus kami beli.
Singkat cerita bertepatan dengan hari natal tgl 25 Desember 2011 kami mendarat di Bandara Ngurah Rai pada pukul 18:00 yang saat itu bandara dalam keadaan sembrawut karena dalam proses renovasi. Dan terimakasih buat Pak Nyoman Uthamayasa paman dari istri yang telah meluangkan waktu menjemput sehingga kami bisa menghemat biaya taxi. Hehee..





Masakan khas Sulawesi, ikan bakar sambal dabu-dabu

Bendungan Sausu yang baru diperbaiki





Kampung nelayan Pantai Tumpapa

Disekian banyak wanita, istriku yang paling cantik... @RK Padang Sari, Sulteng

hasil kebun Biji Kakao (coklat) yang baru di jemur


Terimakasih telah bersedia menua bersamaku darl, I Love You.  @ Pantai Tumpapa, Sulteng

2 komentar:

Unknown mengatakan...

wowow... kereennn bang.....
kira2 di Bali ada gak gunung setengah bulat... seperti di belakang anda pada saat anda b.phose di pantai Torue..?? oia...pantai Torue i2 ndak s,sepi yang anda bayangkhan pada saat hari raya lhoo....
terimakasih dah berkunjung ke Pantai Torue.. aku orang Bali Lhoo yang tinggal di Torue.....

Oka Widnya|A friend for your happiness mengatakan...

Salamkenal Bang IDA BAGUS MADE BP :) terimakasih tlah berkunjung ke blog ini ya.. tentu saja di Bali tidak ada gunung seindah itu,saya jadi ingin ke Torue lagi.